Blog ini berisi tulisan mahasiswa Program Studi Pendidikan Sosiologi A UNJ angkatan 2015 tentang permasalahan pendidikan. Seluruh tulisan ini dibuat sebagai syarat mengikuti Ujian Akhir Semester mata kuliah Bahasa Indonesia, Juni 2016.



Filman Zulfikar: Pendidikan dan Ciri Karakter Budaya


Pendidikan dan Ciri Karakter Budaya
Problem kebangsaan kontemporer sangat kompleks, mulai dari tawuran, narkoba, korupsi, kemiskinan, hingga konflik sosial yang dapat mengancam disintegrasi bangsa.  Hal tersebut memang sudah sering didengar, masalah ini sangat berkaitan dengan karakter, maka pendidikan yang tepat untuk mengatasi problem kebangsaan diatas adalah Pendidikan Karakter Nasionalisme. Pendidikan Berkarakter Nasionalisme amat sangat penting dan kompleks dan dapat membangun dan merekonstruksi sikap dan karakter masyarakat dalam berbagai macam hal. Dalam proses pembelajaran ini dapat ditanamkan beberapa nilai penting di antaranya untuk menyelesaikan konflik sosial maka dapat ditanamkan sikap toleransi agar terciptanya sikap saling menghargai. Berikut adalah deskripsi pendidikan karakter di pesantren yang dapat dijadikan pendidikan alternatif serta solusi pendidikan.

Pendidikan dalam Pesantren
Belum lama di tahun ini terdapat banyak perbincangan tentang keresahan pendidikan Indonesia, hal ini dibarengi dengan isu menurunnya pendidikan moral dan karakter bangsa. Pendidikan Indonesia yang kini sudah mulai memudar nilai karakter bangsanya. Bukan rahasia lagi bahwa Indonesia adalah bangsa yang multikultural, terdapat banyak ciri karakter pada masing-masing suku dan budaya.

Islam merupakan agama yang dianut sebagian besar di Indonesia. Perpaduan budaya Islam dengan budaya daerah ternyata menjadi ciri khas budaya di Indonesia, kita dapat melihat hal tersebut dalam ranah pendidikan, Pesantren misalnya.

Di dalam pesantren terdapat hal yang menarik jika ditelisik dalam hal pendidikan, karena terjadi perpaduan budaya yang menarik dalam praktik pendidikan di dalam pesantren, seperti pendidikan karakter yang diterapkan disana, bukan hanya itu pesantren mengalami perubahan yang luar biasa dalam dunia pendidikan. Banyak sekali nilai-nilai yang diajarkan di pesantren seperti nilai religious, moral, dan nilai kebangsaan. Nilai-nilai tersebut ditanamkan melalui praktik pendidikan karakter yang di terapkan oleh Kyai dan Ustadz pada Santri dengan cara dan metode yang unik.

Pendidikan karakter yang diterapkan pesantren berkiblat ke arah nilai-nilai religius islam yang bersumber pada kitab kuning, kitab ini membawa arti pembelajaran yang berbeda pada kehidupan pendidikan lainnya.

Pendidikan karakter yang digunakan di Amerika merupakan transformasi dari pendidikan moral, atau pendidikan nilai-nilai. Jika di Indonesia pendidikan moral dan karakter didapatkan di pendidikan kewarganegaraan (PKn), namun pada kenyataannya adalah pendidikan karakter dan moral dalam sekolah di Indonesia belum sepenuhnya tercapai, hal ini dikarenakan kurangnya perhatian terhadap budaya luar yang masuk secara bebas sehingga hal tersebut dapat dilihat dan ditiru oleh siswa tanpa adanya bimbingan dari orang dewasa sehingga hal inilah yang dapat menimbulkan hilangnya karakter bangsa pada saat ini.

Menurut R.A. Sani dalam (Sani, 2011: 7) elemen moral yang perlu dicapai dengan pelaksanaan pendidikan moral menurut Durkheim adalah: 1) Semangat disiplin, 2) semangat membantu orang lain, 3) kebebasan. Ketiga hal ini menjadi tiga dasar elemen yang menjadi indicator penting dalam pendidikan karakter bangsa. Sikap semangat disiplin erat hubungannya dengan social order dalam masyarakat, siswa harus membiasakan ataupun dibiasakan mengatur dirinya untuk menyesuaikan diri terhadap aturan-aturan social di masyarakat agar terciptanya social order dan konformitas yang baik dalam satu tatanan social. Di samping itu rasa semangat membantu orang lain juga penting Karena rasa empati tersebut menjadi cerminan peduli sesama lain yang akan membangun sikap kemanusiaan seperti halnya tradisi masyarakat Indonesia.

Selanjutnya pendidikan di pondok pesantren berperan besar dalam pendidikan di Indonesia, juga pada masa ke masa melihatkan perkembangan yang dinamis, jika awalnya lembaga pendidikan di pondok pesantren mengutamakan pendidikan agama, kini pondok pesantren berkembang menjadi lembaga pendidikan yang tidak kalah dengan lembaga pendidikan non-pesantren. Pesantren adalah lembaga pendidikan yang mempunyai ciri khas tersendiri. Cara mengajar pun unik memiliki metode tersendiri, seorang Kyai membacakan manuskrip berbahasa arab (kitab kuning) sedangkan para santri mendengarkan dan memberi catatan pada kitab kuning tersebut metode ini dilakukan dengan cara yang khas dinamakan bandongan atau layanan kolektif (collective learning process), dilakukan bersama-sama dengan kecakapan santri memberi catatan yang praktis untuk diingat seperti metode mnemonic sehingga santri dapat mudah menghafal isi dan arti kitab kuning tersebut. Selain itu, para santri ditugaskan membaca kitab itu sendiri kemudian Kyai dan Ustadz mendengarkan dan menyimak lalu mengoreksi bacaan para Santri, metode ini yang disebut dengan sorogan atau atau layanan individu (individual learning process).

Jika di masa lalu pesantren dikenal sebagai lembaga pendidikan yang kolot maka sekarang pesantren hadir ditengah-tengah era modern telah berubah menjadi lembaga pendidikan yang dapat menyesuaikan dengan perkembangan zaman, pesantren dapat dibedakan menjadi tiga bentuk tipologi, yang pertama adalah bentuk tradisional, ini adalah pesantren yang menyelenggarakan pendidikan dengan cara-cara klasik, metode yang dipakai biasanya adalah “halqah”. Ini adalah metode penghafalan ayat-ayat Al-Quran. Selanjutnya adalah pesantren modern, pesantren ini cenderung mengadopsi cara belajar secara klasik, pesantren modern identik dengan bangunan yang ruang kelas belajar, dalam bentuk madrasah maupun sekolah, dan ada pula pesantren komprehensif pesantren ini cenderung mengelaborasikan antara sistem belajar tradisional dan klasik.

Sebagai lembaga, pesantren bermaksud untuk mempertahankan nilai-nilai keislaman yang bertitik berat kepada pendidikan. Pesantren sebagai lembaga seharusnya dapat menghidupkan fungsinya sebagai lembaga yang mentransferkan ilmu-ilmu agama dan nilai keislaman, selain itu pesantren sebagai lembaga pendidikan juga dapat melakukan kontrol sosial. Seperti yang kita ketahui tentang kehidupan pesantren, pihak pesantren mengawasi segala aktivitas yang dilakukan oleh santri, contoh bentuk kontrol sosial di dalam pesantren adalah memisahkan tempat ibadah dan asrama antara laki-laki dan perempuan, hal ini dilakukan sebagai bentuk controlling terhadap kehidupan pesantren. Dan juga pesantren sebagai lembaga melakukan rekayasa sosial.

Di dalam sistem pendidikan pesantren terdapat penanaman nilai-nilai pendidikan karakter yang tertanam kuat melalui praktik pendidikan yang diterapkan seperti kejujuran, kedisiplinan, keikhlasan, berdikari, mandiri, kesederhanaan. Semua sikap tersebut dibangun dengan melatih kebiasaan santri, sikap disiplin contohnya dilatih dengan cara memberikan tanggung jawab sepenuhnya kepada santri untuk berdisiplin beribadah. Namun yang tidak tertuliskan pada buku yang dikarang adalah bagaimana dengan kasus kekerasan yang terjadi di dalam pesantren. Kekerasan ini terjadi sebagai bentuk hukuman represif atau koersif terhadap santri yang melanggar aturan. Ha ini dilakukan sebagai bentuk penegasan sebagai cara pendidikan behavioristik pada santri dengan cara clasical conditioning. Ini dimaksudkan agar santri dibiasakan untuk disiplin dan menjadi pribadi yang taat, beriman dan bertakwa dan berakhlak mulia serta mandiri.

Dari berbagai macam metode dan cara yang dilakukan dalam pendidikan pesantren tercerminkan bahwa pendidikan Indonesia memiliki karakter dan konsep tersendiri tersendiri dalam pendidikan yakni pendidikan berbasis karakter dan islami yang diterapkan oleh pesantren. Maka dari itu hal ini juga seharusnya menjadi perhatian untuk pemerintah tidak hanya memusatkan perhatian kepada sekolah formal saja, karena sejatinya pesantren amat sangat berperan penting bagi pendidikan di Indonesia. Dan dari sistem pendidikan yang diterapkan di dalam pesantren santri tidak hanya belajar mengenai keagamaan namun juga belajar mengenai berbagai macam ilmu lainnya, artinya pesantren mencetak santri yang mampu bersaing dalam dunia global dan mempunyai kelebihan dalam bidang keagamaan. Disisi lain selain taat santri dididik untuk menjadi pribadi yang saling menghormati tidak hanya kepada sesama manusia namun juga kepada alam dan lingkungan. Maka dapat disimpulkan pendidikan di pesantren tidak hanya melatih Intelektual Quotient (IQ) namun juga melatih kecerdasan Emosional Quotient (EQ) san kecerdasan Spiritual Quotient (SQ), semua itu dapat diintegrasikan dengan Comunication Qoutient (CQ).

Pendidikan karakter tidak hanya didapat di pesantren, namun pendidikan  ini  harus ditanamkan sejak dini di keluarga mulai dari hal yang kecil seperti mengajarkan kejujuran pada anak dan melatih disiplin. Artinya untuk memulai pendidikan yang baik tidak semerta-merta dilakukan begitu saja, artinya adalah proses sosialisasi dan proses pentransferan ilmu dan nilai-nilai luhur ditanamkan isa melalui keluarga dimulai sejak dini sehingga seorang anak ketika ia besar maka akan memegang teguh nilai-nilai luhur yang ia dapat. Hal ini akan memicu hadirnya kesadaran masyarakat akan pentingnya nilai-nilai budi pekerti luhur dan dari hal tersebut maka juga akan memicu keharmonisan dalam kehidupan masyarakat. Bahkan dapat ditanamkan nilai religius yang kuat, karena masyarakat di Indonesia dengan ciri multi agama maka masyarakat akan memegang teguh nilai agama, karena sebagaimana menurut Durkheim agama dapat menjadi pusat integrasi yang kuat. Maka Pendidikan Karakter Nasionalisme ini tidak bisa dipandang sepele melainkan amat sangat penting dan kompleks karena di dalam Pendidikan Karakter Nasionalisme ini mengandung unsur budaya masyarakat maka tujuan dari Pendidikan ini adalah membuat sosial order yang baik, dan konformitas menjadi salah satu hal yang harus dibangun sebagaimana menurut R. K. Merton bahwa konformitas adalah bentuk sosialisasi yang baik di dalam masyarakat maka sosialisasi juga harus menjadi solusi di dalam Pendidikan Karakter Nasionalisme.

Sumber: 
Sani, Ridwan Abdullah. 2011. Pendidikan Karakter di Pesantren. Jakarta: Citapustaka Media Perintis.

Komentar