Dunia ini berkembang. Ia bergerak maju
ke depan, meninggalkan segala masa lalu yang menjadi kenangan. Mungkin kita
mengetahui masa betapa kerennya seseorang saat ia memiliki handphone Blackberry,
dan kini orang yang masih memegang itu malah dianggap kuno, dan pemegang android-lah
yang kini menjadi orang keren di kehidupan pergaulannya. Mungkin, di suatu saat
akan ada yang lebih dari android, dan sebutan android akan
menjadi “kesan kuno” bagi masyarakat nanti. Dulu, anak-anak pada
masanya akan merengek meminta dibelikan Tamiya, Tamagochi, dan Beyblade, namun
kini mereka akan merengek meminta dibelikan kuota dan paket
lima giga.
Dunia berubah karena penghuninya yang
berubah. Pemikiran-pemikiran yang keluar dari para penghuninya sangatlah
ekstrim, membuat sebuah dunia terasa lebih kecil untuk dipandang, memangkas
keterbatasan jarak yang tercipta sebelumnya, dan membuat keadaan “dunia kini
ada di genggaman manusia” . Ya, para manusia menciptakan teknologi yang membuat
tak ada lagi hambatan manusia untuk berkomunikasi, bahkan antarnegara.
Pemikiran yang paling membuat perubahan adalah munculnya teknologi bernama
internet. Internet secara singkat merupakan teknologi yang memungkinkan manusia
mampu melakukan jaringan dan berhubungan dengan yang lain yang bahkan
bermil-mil jaraknya. Munculnya internet inilah, manusia mulai mengalami
perubahan, dan juga turut mengubah dunia. Pun degan masyarakat Indonesia,
mereka mulai mengenal internet secara luas saat tahun
2000-an, disaat yang bersamaan telah muncul tren handphone, dan
disaat itulah masyarakat mulai melek akan kecanggihan dan kehebatan internet
dalam mengakses informasi dan berkomunikasi dengan begitu mudahnya.
Dampak dari pengaruh besar internet
ini memunculkan sebuah generasi baru yang berbeda dari generasi sebelumnya,
yaitu generasi cyber. Sebuah generasi baru yang memungkinkan
akan hidup di masa semua hal yang dilakukan menggunakan teknologi. Cyber
generation dari perkembangan internet dan teknologi ini muncul sebagai
generasi baru di masyarakat. Generasi baru yang melek teknologi ini
dapat dikatakan generasi muda saat ini, mereka yang lahir tahun 2000-an hingga
yang lahir saat ini, tahun 2016 mampu dikatakan sebagai generasi cyber. Mereka
lahir disaat internet mulai melahirkan “amunisi-amunisi” baru untuk masyarakat,
khususnya di Indonesia. Mereka yang kini masih berada di bangku sekolah dasar
dan menengah adalah generasi baru, generasi yang akan meminta uang jajan untuk
dibelikan pulsa, bukan mainan, generasi yang mainannya ada di Playstore, bukan
di mamang-mamang yang mangkal di sebelah
sekolahan. Generasi ini akan mampu menciptakan teknologi lebih mutakhir daripada
saat ini, generasi yang akan fokus kepada intelektualitas demi kemajuan bangsa,
bukan kepada moralitas yang sekedar hanya untuk perkembangan sikap. Namun, ada
satu hal yang terjadi pada generasi baru ini, yaitu keadaan tak sesuai dengan
kenyataan. Generasi melek teknologi ini terbentur dengan budaya, dan adat yang
masih “menahan” mereka mengembangkan kebebasan berpikir. Mereka pun masih hidup
bersama generasi sebelumnya yang menerima teknologi secara terbatas, tidak
seperti mereka yang dapat menguasainya. Secara kasarnya, generasi baru yang
benar-benar baru ini merupakan generasi transisi dari generasi sebelumnya, yang
masih memiliki kekakuan dalam bertingkah laku, masih menahan diri untuk
me-liberal-kan dirinya, dan takut kepada wejangan-wejangan tanpa mengambil
rasionalitasnya. Contohnya, generasi transisi dengan generasi sebelumnya
diibaratkan ada pada kakak dan adik, ketika si kakak yang berpikir tradisional,
menggunakan handphone hanya untuk bertelepon, hidup bersama adiknya yang sudah
modern pemikirannya, menggunakan smartphone yang digunakan untuk berbagai
tujuan, seperti menggunakan media sosial dan internet, tak hanya bertelepon
seperti kakaknya. Sang adik akan bingung apabila ia ingin berkomunikasi melalui
internet dengan kakaknya yang tidak terlalu melek kepada teknologi karena
ketidakmampuan yang dimiliki kakaknya dalam mengakses internet. Si adik ini
kebingungan melihat semuanya yang serba mudah saat ini masih harus berhadapan
dengan hal yang belum mudah. Generasi baru yang masih hidup diantara
ketradisionalan masyarakat ini pun akhirnya dinamakan “generasi bingung” yang
kebingungan melihat masyarakat bertransisi, dari tradisional ke modern.
Generasi bingung muncul akibat
transisi masyarakat yang berjalan berbenturan, perubahan masyarakat tradisional
ke modern yang berjalan lamban tidak mampu mengimbangi perubahan teknologi yang
semakin hari semakin pesat, dan hal ini mampu berdampak. Contohnya, ketika
masyarakat Indonesia baru mengetahui hebatnya Android, Apple dan Android
baru telah menjadi tren lama di negara lain. Benturan dari perubahan
ini menyebabkan berbagai dampak, seperti adanya kesenjangan teknologi yang
semakin jauh, mereka yang sudah update pemikirannya akan lebih
mudah memahami teknologi, namun mereka yang masih sulit memahami teknologi akan
semakin jauh tertinggal pemikirannya dari mereka yang mampu menguasai. Contoh
mudahnya adalah ketika seorang anak kecil mengajari orangtuanya untuk
memainkan tab, yang menunjukkan sebuah keanehan yang pada hakikatnya
orang tualah yang seharusnya mengajarkan sesuatu pada anak, apalagi ketika masih
kecil. Namun, pada contoh tadi sangat terlihat sekali kebalikannya. Dampak
lain, adalah munculnya kelompok yang baru mulai menguasai teknologi, namun
tidak pada sikapnya, norak, mereka disebut oleh masyarakat
sebagai kelompok alay, yang memanfaatkan teknologi dan
aplikasi yang mereka miliki untuk bersikap kekinian, contohnya saja adalah
ketika facebook mulai membludak terkenal ke seluruh penjuru masyarakat
di Indonesia, mereka akan menunjukkan eksistensi mereka dengan menulis
nama akunnya dengan nama yang mencolok, seperti “NiTha Chayang Q’mu Sllmanya" (mungkin dibaca dengan “Nitha Sayang Kamu Selamanya”). Kelompok alay ini
merupakan kelompok yang menunjukkan bukti nyata bahwa saat ini generasi cyber masih
mengalami transisi dan kebingungan dalam menggunakan teknologi yang tersedia.
Setelah melihat keadaan dari generasi
bingung ini, muncul sebuah pertanyaan, “mengapa ini semua
terjadi?” Terdapat beberapa pemikiran mengenai hal yang terjadi pada
perkembangan dunia ini, diantaranya adalah pemikiran mengenai modernisasi,
dimana pada teori modernisasi menganggap bahwa negara-negara terbelakang akan
menempuh jalan yang sama dengan negara industri maju di Barat, sehingga
kemudian akan menjadi negara berkembang pula melalui proses modernisasi (Light,
Keller, and Calhoun, 1989). Teori ini berpandangan bahwa masyarakat yang belum
berkembang perlu mengatasi kekurangan dan masalahnya sehingga dapat mencapai
tahap “lepas landas” ke arah perkembangan, dan dari teori inilah banyak
masyarakat yang perlahan berubah untuk berkembang menjadi lebih berpikiran
modern, makanya terciptalah internet dan berbagai teknologi yang semata-mata
untuk mengembangkan peradaban.
Teknologi yang menciptakan generasi
baru, generasi cyber, seharusnya mampu mengembangkan
peradaban, bukannya merusak peradaban. Di Indonesia, generasi cyber ini
masih belum matang dan masih menjadi generasi transisi yang disebut generasi
bingung. Generasi ini belum mampu mengembangkan peradaban, sehingga yang
terjadi saat ini adalah kebalikannya, peradaban mengalami krisis. Krisis
peradaban ini terlihat dari berbagai kejadian yang terjadi di masyarakat, yang
dilakukan oleh para siswa, atau mereka yang masih berumur yang sewajarnya
berada di sekolah yang juga termasuk generasi cyber pada saat
ini. Beberapa kejadian yang terjadi di negeri ini, terutama kejadian yang
terkait dinamika masyarakat, seperti kriminal, yaitu adanya banyak
kejadian para siswa yang melakukan tawuran hanya karena masalah kecil dari SMS
yang memicu konflik, bahkan pembunuhan hanya karena ejek-ejekan di media
sosial; tindakan asusila, dimana banyak sekali para siswa yang
secara mudahnya memperkosa temannya akibat mudahnya mengakses media
pornografi; keadaan sosial yang diacak-acak, seperti munculnya anak
muda alay dengan penggunaan bahasa yang kurang baik seperti
yang tadi telah dijelaskan, pun dengan budaya siswa berupa penyebutan nama
binatang kepada temannya yang menunjukkan tidak adanya rasa hormat kepada
sesama, lalu sikap siswa yang sering melabrak dan mem-bully, dan
menggunjing siswa lain. Sikap ini menunjukkan adanya sikap
penindasan kepada teman, dan memunculkan rasa ketidakpercayaan, dan konflik
antarsiswa akibat akses internet yang mudahnya memperlihatkan tindakan tidak
bermoral pada masyarakat yang belum mampu disaring mereka; ada pula
sikap amoral, atau sikap yang tak pantas dan dianggap tak bermoral yang
dilakukan oleh para siswa ini, seperti tidak sopan kepada guru, ada pula sikap
anak sekolah yang masih menggunakan “jalan sesat” saat melakukan ujian, dimana
kejujuran para siswa seolah tak menjadi benteng untuk mencegah sikap mencontek
dan tidak jujur dengan memanfaatkan teknologi seperti meminta kunci jawaban
lewat media sosial atau mencontek lewat akses internet saat ujian close
book, ditambah dengan sikap siswa yang sudah mulai merokok sejak dini,
hingga minum alkohol bahkan menyalahgunakan narkoba sebagai bentuk tren anak
muda masa kini.
Dekadensi moral yang merupakan imbas
dari berkembangnya ilmu pengetahuan yang timpang dengan kemerosotan mental dan
karakter bangsa yang menyebabkan sebuah perubahan sosial. Perubahan sosial saat
ini begitu cepat terjadi, sementara untuk mengatasi efek jeleknya tidak secepat
perubahan itu berjalan. (Hanani, 2013). Kelambatan-kelambatan untuk mengatasi
efek jeleknya itu yang menyebabkan realitas sosial yang sering berbanding
terbalik dengan harapan kehidupan. Kondisi tersebut dinamakan oleh Giddens
dengan istilah jugernaut (Giddens, 2000). Hal itu disebabkan
oleh tidak pahamnya manusia dengan lingkungan sosial, termasuk pendidikan
sosial yang kurang memerhatikan tentang kemanusiaan sebagai objek pendidikan
itu sendiri. Bahkan kita mengenal bahwa terdapat gap yang
membuat adanya penomorsatuan dan penomorduaan sebuah keilmuan. Dan sayangnya,
ini pun terjadi di Indonesia dengan menempatkan ilmu sosial di nomor dua
setelah saintek, eksakta dan teknologi. Memang cukup baik menempatkan teknologi
untuk mengembangkan sebuah negara, namun, setelah ada perubahan yang terjadi,
krisis peradaban dapat menjadi imbasnya. Semua kejadian yang terjadi tadi
disebabkan oleh belum optimalnya penggunaan teknologi yang tersedia, sehingga
munculnya sikap tidak terpuji akibat penyalahgunaan fungsi teknologi ini,
terlebih lagi dengan adanya jugernaut yang terjadi di
masyarakat Indonesia. Generasi bingung, perubahan sosial, dan pemerosotan moral
yang berkaitan ini pun menjadi sebuah masalah bagi negeri ini ke depan, dan
diperlukan solusi untuk menanggulangi hal ini.
Generasi bingung saat ini kebanyakan
berperan sebagai peserta didik di sekolah, sehingga pendidikan menjadi salah
satu cara untuk menyelesaikan masalah yang muncul, yaitu masalah kemerosotan
moral akibat berkembangnya teknologi. Pendidikan saat ini dilihat kurang
berfungsi dalam menghadapi ganasnya “serangan” dari teknologi ini. Pendidikan
karakter menjadi jawaban sementara saat ini untuk mengatasi masalah
dekandensi moral ini. Pada hakikatnya, pendidikan merupakan proses
pendewasaan manusia, proses pembentukan karakteristik manusiawi, dan proses
pencerdasan. Di dalam pendidikan, akan ditanamkan nilai nilai yang mampu
menciptakan karakter siswa, apabila memang karakter yang diberikan mengandung
nilai baik, maka karakter yang didapat pun akan baik, begitu sebaliknya,
sehingga pelaksanaan pendidikan karakter menjadi penting dalam menghadapi masa
transisi ini. Pendidikan karakter memang telah diterapkan di Indonesia, namun
belum optimal. Dari ketidakoptimalan ini, inovasi untuk menyempurnakan
pendidikan karakter menjadi penting, dan inovasi pengoptimalan teknologi dan
akses informasi serta internet menjadi sesuatu yang patut dicoba,
terlebih lagi pendidikan ini akan didapatkan oleh generasi bingung yang masih
bingung dalam kehidupan cyber mereka di masa depan.
Pengoptimalan pendidikan teknologi yang berkarakter akan memungkinkan
pelaksanaan pendidikan karakter yang tak melulu pemberian wejangan lewat
ceramah, namun juga mampu memberikan internalisasi nilai lewat teknologi,
sesuai dengan hakikat teknologi, yaitu mencerdaskan dan memudahkan manusia
dalam mencapai perkembangan peradaban, bukan menciptakan pemerosotan
moral. Konsep pendidikan karakter yang dioptimalkan oleh teknologi ini
dapat dilakukan dan dapat mengatasi masalah moral generasi cyber yang
belum matang ini apabila seluruh elemen dan bagian dari masyarakat mampu dan
mau menerapkannya, jadi tidak hanya sekolah yang berperan. Karena pada
dasarnya, pendidikan yang dilakukan di sekolah akan berakhir dengan pelaksanaan
hasil pendidikan tersebut untuk masyarakat, sehingga masyarakat pun akan
berkembang lebih baik pula, dan menjadi lebih beradab.
Generasi bingung ini merupakan
harapan. Generasi ini adalah generasi pemimpin yang akan berada di kursi
kepemimpinan negeri ini untuk beberapa tahun ke depan, setidaknya saat
Indonesia berusia 100 tahun. Di tahun emas sebuah negara, generasi yang akan
menjadi pemimpin di masa itu diharapkan mampu berkarakter beradab dan menguasai
teknologi yang mutakhir, sehingga masyarakatnya mampu dicerdaskan dan tidak
meninggalkan pentingnya moral bagi suatu bangsa. Oleh karena itulah, generasi
ini merupakan generasi yang harus terus diawasi agar tidak melenceng dan malah
makin membuat bangsa ini tidak beradab.
Komentar
Posting Komentar