Blog ini berisi tulisan mahasiswa Program Studi Pendidikan Sosiologi A UNJ angkatan 2015 tentang permasalahan pendidikan. Seluruh tulisan ini dibuat sebagai syarat mengikuti Ujian Akhir Semester mata kuliah Bahasa Indonesia, Juni 2016.



Muhamad Furqon Nugraha: Pendidikan Bagi Generasi Bingung


Dunia ini berkembang. Ia bergerak maju ke depan, meninggalkan segala masa lalu yang menjadi kenangan. Mungkin kita mengetahui masa betapa kerennya seseorang saat ia memiliki handphone Blackberry, dan kini orang yang masih memegang itu malah dianggap kuno, dan pemegang android-lah yang kini menjadi orang keren di kehidupan pergaulannya. Mungkin, di suatu saat akan ada yang lebih dari android, dan sebutan android akan menjadi “kesan kuno”  bagi masyarakat nanti. Dulu, anak-anak pada masanya akan merengek meminta dibelikan Tamiya, Tamagochi, dan Beyblade, namun kini mereka akan merengek meminta dibelikan kuota dan paket lima giga. 

Dunia berubah karena penghuninya yang berubah. Pemikiran-pemikiran yang keluar dari para penghuninya sangatlah ekstrim, membuat sebuah dunia terasa lebih kecil untuk dipandang, memangkas keterbatasan jarak yang tercipta sebelumnya, dan membuat keadaan “dunia kini ada di genggaman manusia” . Ya, para manusia menciptakan teknologi yang membuat tak ada lagi hambatan manusia untuk berkomunikasi, bahkan antarnegara. Pemikiran yang paling membuat perubahan adalah munculnya teknologi bernama internet. Internet secara singkat merupakan teknologi yang memungkinkan manusia mampu melakukan jaringan dan berhubungan dengan yang lain yang bahkan bermil-mil jaraknya. Munculnya internet inilah, manusia mulai mengalami perubahan, dan juga turut mengubah dunia. Pun degan masyarakat Indonesia, mereka mulai mengenal internet secara luas saat tahun 2000-an,  disaat yang bersamaan telah muncul tren handphone, dan disaat itulah masyarakat mulai melek akan kecanggihan dan kehebatan internet dalam mengakses informasi dan berkomunikasi dengan begitu mudahnya.

Dampak dari pengaruh besar internet ini memunculkan sebuah generasi baru yang berbeda dari generasi sebelumnya, yaitu generasi cyber. Sebuah generasi baru yang memungkinkan akan hidup di masa semua hal yang dilakukan menggunakan teknologi. Cyber generation dari perkembangan internet dan teknologi ini muncul sebagai generasi baru di masyarakat. Generasi baru yang melek teknologi ini dapat dikatakan generasi muda saat ini, mereka yang lahir tahun 2000-an hingga yang lahir saat ini, tahun 2016 mampu dikatakan sebagai generasi cyber. Mereka lahir disaat internet mulai melahirkan “amunisi-amunisi” baru untuk masyarakat, khususnya di Indonesia. Mereka yang kini masih berada di bangku sekolah dasar dan menengah adalah generasi baru, generasi yang akan meminta uang jajan untuk dibelikan pulsa, bukan mainan, generasi yang mainannya ada di Playstore, bukan di mamang-mamang yang mangkal di sebelah sekolahan. Generasi ini akan mampu menciptakan teknologi lebih mutakhir daripada saat ini, generasi yang akan fokus kepada intelektualitas demi kemajuan bangsa, bukan kepada moralitas yang sekedar hanya untuk perkembangan sikap. Namun, ada satu hal yang terjadi pada generasi baru ini, yaitu keadaan tak sesuai dengan kenyataan. Generasi melek teknologi ini terbentur dengan budaya, dan adat yang masih “menahan” mereka mengembangkan kebebasan berpikir. Mereka pun masih hidup bersama generasi sebelumnya yang menerima teknologi secara terbatas, tidak seperti mereka yang dapat menguasainya. Secara kasarnya, generasi baru yang benar-benar baru ini merupakan generasi transisi dari generasi sebelumnya, yang masih memiliki kekakuan dalam bertingkah laku, masih menahan diri untuk me-liberal-kan dirinya, dan takut kepada wejangan-wejangan tanpa mengambil rasionalitasnya. Contohnya, generasi transisi dengan generasi sebelumnya diibaratkan ada pada kakak dan adik, ketika si kakak yang berpikir tradisional, menggunakan handphone hanya untuk bertelepon, hidup bersama adiknya yang sudah modern pemikirannya, menggunakan smartphone yang digunakan untuk berbagai tujuan, seperti menggunakan media sosial dan internet, tak hanya bertelepon seperti kakaknya. Sang adik akan bingung apabila ia ingin berkomunikasi melalui internet dengan kakaknya yang tidak terlalu melek kepada teknologi karena ketidakmampuan yang dimiliki kakaknya dalam mengakses internet. Si adik ini kebingungan melihat semuanya yang serba mudah saat ini masih harus berhadapan dengan hal yang belum mudah. Generasi baru yang masih hidup diantara ketradisionalan masyarakat ini pun akhirnya dinamakan “generasi bingung” yang kebingungan melihat masyarakat bertransisi, dari tradisional ke modern.

Generasi bingung muncul akibat transisi masyarakat yang berjalan berbenturan, perubahan masyarakat tradisional ke modern yang berjalan lamban tidak mampu mengimbangi perubahan teknologi yang semakin hari semakin pesat, dan hal ini mampu berdampak. Contohnya, ketika masyarakat Indonesia baru mengetahui hebatnya Android, Apple dan Android baru telah menjadi tren lama di negara lain. Benturan dari perubahan ini menyebabkan berbagai dampak, seperti adanya kesenjangan teknologi yang semakin jauh, mereka yang sudah update pemikirannya akan lebih mudah memahami teknologi, namun mereka yang masih sulit memahami teknologi akan semakin jauh tertinggal pemikirannya dari mereka yang mampu menguasai. Contoh mudahnya adalah ketika seorang anak kecil mengajari orangtuanya untuk memainkan tab, yang menunjukkan sebuah keanehan yang pada hakikatnya orang tualah yang seharusnya mengajarkan sesuatu pada anak, apalagi ketika masih kecil. Namun, pada contoh tadi sangat terlihat sekali kebalikannya. Dampak lain, adalah munculnya kelompok yang baru mulai menguasai teknologi, namun tidak pada sikapnya, norak, mereka disebut oleh masyarakat sebagai kelompok alay, yang memanfaatkan teknologi dan aplikasi yang mereka miliki untuk bersikap kekinian, contohnya saja adalah ketika facebook mulai membludak terkenal ke seluruh penjuru masyarakat di  Indonesia, mereka akan menunjukkan eksistensi mereka dengan menulis nama akunnya dengan nama yang mencolok, seperti “NiTha Chayang Q’mu Sllmanya" (mungkin dibaca dengan “Nitha Sayang Kamu Selamanya”). Kelompok alay ini merupakan kelompok yang menunjukkan bukti nyata bahwa saat ini generasi cyber masih mengalami transisi dan kebingungan dalam menggunakan teknologi yang tersedia.

Setelah melihat keadaan dari generasi bingung ini, muncul sebuah pertanyaan, “mengapa ini semua terjadi?”  Terdapat beberapa pemikiran mengenai hal yang terjadi pada perkembangan dunia ini, diantaranya adalah pemikiran mengenai modernisasi, dimana pada teori modernisasi menganggap bahwa negara-negara terbelakang akan menempuh jalan yang sama dengan negara industri maju di Barat, sehingga kemudian akan menjadi negara berkembang pula melalui proses modernisasi (Light, Keller, and Calhoun, 1989). Teori ini berpandangan bahwa masyarakat yang belum berkembang perlu mengatasi kekurangan dan masalahnya sehingga dapat mencapai tahap “lepas landas” ke arah perkembangan, dan dari teori inilah banyak masyarakat yang perlahan berubah untuk berkembang menjadi lebih berpikiran modern, makanya terciptalah internet dan berbagai teknologi yang semata-mata untuk mengembangkan peradaban.

Teknologi yang menciptakan generasi baru, generasi cyber, seharusnya mampu mengembangkan peradaban, bukannya merusak peradaban. Di Indonesia, generasi cyber ini masih belum matang dan masih menjadi generasi transisi yang disebut generasi bingung. Generasi ini belum mampu mengembangkan peradaban, sehingga yang terjadi saat ini adalah kebalikannya, peradaban mengalami krisis. Krisis peradaban ini terlihat dari berbagai kejadian yang terjadi di masyarakat, yang dilakukan oleh para siswa, atau mereka yang masih berumur yang sewajarnya berada di sekolah yang juga termasuk generasi cyber pada saat ini. Beberapa kejadian yang terjadi di negeri ini, terutama kejadian yang terkait dinamika masyarakat, seperti kriminal, yaitu adanya banyak kejadian para siswa yang melakukan tawuran hanya karena masalah kecil dari SMS yang memicu konflik, bahkan pembunuhan hanya karena ejek-ejekan di media sosial; tindakan asusila, dimana banyak sekali para siswa yang secara mudahnya memperkosa temannya akibat mudahnya mengakses media pornografi; keadaan sosial yang diacak-acak, seperti munculnya anak muda alay dengan penggunaan bahasa yang kurang baik seperti yang tadi telah dijelaskan, pun dengan budaya siswa berupa penyebutan nama binatang kepada temannya yang menunjukkan tidak adanya rasa hormat kepada sesama, lalu sikap siswa yang sering melabrak dan mem-bully, dan menggunjing siswa lain. Sikap ini menunjukkan adanya sikap penindasan kepada teman, dan memunculkan rasa ketidakpercayaan, dan konflik antarsiswa akibat akses internet yang mudahnya memperlihatkan tindakan tidak bermoral pada masyarakat yang belum mampu disaring mereka; ada pula sikap amoral, atau sikap yang tak pantas dan dianggap tak bermoral yang dilakukan oleh para siswa ini, seperti tidak sopan kepada guru, ada pula sikap anak sekolah yang masih menggunakan “jalan sesat” saat melakukan ujian, dimana kejujuran para siswa seolah tak menjadi benteng untuk mencegah sikap mencontek dan tidak jujur dengan memanfaatkan teknologi seperti meminta kunci jawaban lewat media sosial atau mencontek lewat akses internet saat ujian close book, ditambah dengan sikap siswa yang sudah mulai merokok sejak dini, hingga minum alkohol bahkan menyalahgunakan narkoba sebagai bentuk tren anak muda masa kini.

Dekadensi moral yang merupakan imbas dari berkembangnya ilmu pengetahuan yang timpang dengan kemerosotan mental dan karakter bangsa yang menyebabkan sebuah perubahan sosial. Perubahan sosial saat ini begitu cepat terjadi, sementara untuk mengatasi efek jeleknya tidak secepat perubahan itu berjalan. (Hanani, 2013). Kelambatan-kelambatan untuk mengatasi efek jeleknya itu yang menyebabkan realitas sosial yang sering berbanding terbalik dengan harapan kehidupan. Kondisi tersebut dinamakan oleh Giddens dengan istilah jugernaut (Giddens, 2000). Hal itu disebabkan oleh tidak pahamnya manusia dengan lingkungan sosial, termasuk pendidikan sosial yang kurang memerhatikan tentang kemanusiaan sebagai objek pendidikan itu sendiri. Bahkan kita mengenal bahwa terdapat gap yang membuat adanya penomorsatuan dan penomorduaan sebuah keilmuan. Dan sayangnya, ini pun terjadi di Indonesia dengan menempatkan ilmu sosial di nomor dua setelah saintek, eksakta dan teknologi. Memang cukup baik menempatkan teknologi untuk mengembangkan sebuah negara, namun, setelah ada perubahan yang terjadi, krisis peradaban dapat menjadi imbasnya. Semua kejadian yang terjadi tadi disebabkan oleh belum optimalnya penggunaan teknologi yang tersedia, sehingga munculnya sikap tidak terpuji akibat penyalahgunaan fungsi teknologi ini, terlebih lagi dengan adanya jugernaut yang terjadi di masyarakat Indonesia. Generasi bingung, perubahan sosial, dan pemerosotan moral yang berkaitan ini pun menjadi sebuah masalah bagi negeri ini ke depan, dan diperlukan solusi untuk menanggulangi hal ini.

Generasi bingung saat ini kebanyakan berperan sebagai peserta didik di sekolah, sehingga pendidikan menjadi salah satu cara untuk menyelesaikan masalah yang muncul, yaitu masalah kemerosotan moral akibat berkembangnya teknologi. Pendidikan saat ini dilihat kurang berfungsi dalam menghadapi ganasnya “serangan” dari teknologi ini. Pendidikan karakter menjadi jawaban sementara saat ini untuk mengatasi masalah dekandensi moral ini. Pada hakikatnya, pendidikan merupakan proses pendewasaan manusia, proses pembentukan karakteristik manusiawi, dan proses pencerdasan. Di dalam pendidikan, akan ditanamkan nilai nilai yang mampu menciptakan karakter siswa, apabila memang karakter yang diberikan mengandung nilai baik, maka karakter yang didapat pun akan baik, begitu sebaliknya, sehingga pelaksanaan pendidikan karakter menjadi penting dalam menghadapi masa transisi ini. Pendidikan karakter memang telah diterapkan di Indonesia, namun belum optimal. Dari ketidakoptimalan ini, inovasi untuk menyempurnakan pendidikan karakter menjadi penting, dan inovasi pengoptimalan teknologi dan akses informasi  serta internet menjadi sesuatu yang patut dicoba, terlebih lagi pendidikan ini akan didapatkan oleh generasi bingung yang masih bingung dalam kehidupan cyber mereka di masa depan. Pengoptimalan pendidikan teknologi yang berkarakter akan memungkinkan pelaksanaan pendidikan karakter yang tak melulu pemberian wejangan lewat ceramah, namun juga mampu memberikan internalisasi nilai lewat teknologi, sesuai dengan hakikat teknologi, yaitu mencerdaskan dan memudahkan manusia dalam mencapai perkembangan peradaban, bukan menciptakan pemerosotan moral. Konsep pendidikan karakter yang dioptimalkan oleh teknologi ini dapat dilakukan dan dapat mengatasi masalah moral generasi cyber yang belum matang ini apabila seluruh elemen dan bagian dari masyarakat mampu dan mau menerapkannya, jadi tidak hanya sekolah yang berperan. Karena pada dasarnya, pendidikan yang dilakukan di sekolah akan berakhir dengan pelaksanaan hasil pendidikan tersebut untuk masyarakat, sehingga masyarakat pun akan berkembang lebih baik pula, dan menjadi lebih beradab. 

Generasi bingung ini merupakan harapan. Generasi ini adalah generasi pemimpin yang akan berada di kursi kepemimpinan negeri ini untuk beberapa tahun ke depan, setidaknya saat Indonesia berusia 100 tahun. Di tahun emas sebuah negara, generasi yang akan menjadi pemimpin di masa itu diharapkan mampu berkarakter beradab dan menguasai teknologi yang mutakhir, sehingga masyarakatnya mampu dicerdaskan dan tidak meninggalkan pentingnya moral bagi suatu bangsa. Oleh karena itulah, generasi ini merupakan generasi yang harus terus diawasi agar tidak melenceng dan malah makin membuat bangsa ini tidak beradab.

Komentar